Pertama-tama perlu diketahui bahwa ahlus sunnah wal jama’ah salafush shalih rahimahumullah adalah generasi yang menerima seluruh apa yang datang berupa dalil yang shohih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka adalah orang-orang yang mengilmui dan meyakini serta mengamalkan ilmunya. Mereka berjalan diatas jalan kitabullah dan sunnah yang shohih tanpa membeda-bedakan antara hadits yang mutawatir maupun hadits ahad, menerima setiap dalil yang jelas keshohihannya, maka sepatutnyalah untuk menempuh jalan mereka.
Kitab-kitab salafush shalih dari dulu hingga sekarang, terkumpul padanya prinsip-prinsip seperti disebutkan diatas, dan tidaklah tersembunyi yang demikian itu bagi setiap orang yang membacanya, maka setiap apa yang diatas prinsip tersebut kita pegang erat, dan apa yang menyelisihinya kita tolak.
Adapun prinsip orang-orang belakangan yang tidak menempuh jalan mereka (salafush shalih) dari kalangan ahli bid’ah dan ahli hawa, tempat rujukan mereka dalam berhukum adalah akal. Maka setiap apa yang mencocoki akal mereka terima. Pertama-tama mereka menyandarkan pada akal, maka apabila akal tersebut mencocoki syariat, menjadi senanglah mereka, namun setiap perkara yang menyelisihi akal-akal mereka adakalanya mereka tolak adakalanya mereka palingkan maknanya dari makna aslinya, walupun hal yang menyelisihi akal mereka tersebut mencocoki syariat.
Maka sandaran mereka adalah akal. Misal yang demikian itu kita sebutkan dua permisalahan dari sebagian sejarah mereka. Agar pembaca mengetahui kebenaran apa yang telah kami sebutkan diatas:
Contoh pertama :
Disebutkan oleh Al Khotib Al Bahgdadi didalam (تاريخ ) Tarikh (172/12) dan Al Imam Adz Dhahabi didalam Siyar Nubala (104/6) dan Imam Ibnu Katsir didalam Al Bidayah wa An Nihayah (79/10)
Bahwasanya Amr bin ‘Ubaid salah seorang gembong Mu’tazilah, ketika mendengar hadits Abdullah bin Mas’ud :
Berkata Imam Ibnu Katsir : “ucapan ini, adalah sekeji-keji ucapan kekafiran, semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang yang mengucapkan hal yang demikian itu.”
Contoh kedua :
Dan yang lebih parah lagi dari hal di atas adalah ucapan Jahm bin Sofwan, ketika dia membaca Al-Qur’an surat Toha dan mushaf al-qur’an disandarkan diatas batu yang dia gunakan sebagai meja, maka ketika sampai pada ayat :
Berkatalah dia (Jahm bin Sofwan] : ” seandainya aku menemukan jalan untuk menghapus ayat ini, benar-benar aku akan melakukannya. Kemudian ketika dia membaca surat al-qosos ketika dia melewati ayat yang padanya terdapat penyebutan kisah nabi musa alihi salam, maka dia melempar dan menendang mushaf al-qur’an dari tempat dia membaca, sambil mengatakan “apa-apaan ini dikisahkan disini (di al-quran] dan tidak disempurnakan kisahnya. (Disebutkan kisah ini oleh Ibnu Abi Hatim di dalam As-Sunnah, Imam Adz-Dzahabi di dalam Al-’Uluw, dan Imam Bukhari dalam kitab Kholaqo af’alil ‘ibad hal.128-129)
* Wajib memahami Asma’ wa Sifat Allah dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Wajib memahami dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atas dhohirnya (lafadz kontekstual) tanpa merubah makna kontekstual yang tertera pada Al-Qu’ran dan As-Sunnah, karena Allahmenurunkan Al-Qur’an dan menjelaskannya dalam bahasa arab, dan Nabi berbicara dengan menggunakan bahasa arab. Maka wajib untuk menetapkan dalil-dalil dari perkataan Allah dan perkataan Rasul-Nya diatas bahasa arab yang mana Allah telah menurunkan kitab-Nya dengan bahasa tersebut dan Rasul-Nya pun menjelaskan Al-Qur’an dengan bahasa tersebut. Kenapa demikian ??? dikarenakan merubah makna ayat atau dalil dari maknanya yang asli (kontekstual) adalah sebuah perkataan tentang Allah tanpa latar belakang ilmu, dan hal tersebut HAROM.. sebagaimana Allah berfirman :
Katakanlah: “Rabbku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) bagi kalian membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raaf 33)
Misal yang demikian itu adalah tentang firman Allah berikut ini:
Pada dhohir ayat diatas (secara kontekstual) Allah mengkhabarkan kepada kita bahwasanya Dia mempunyai kedua tangan secara hakiki, maka wajib kita menetapkan yang demikian itu secara dhohir lafadznya.
Apabila ada yang mengartikan atau memalingkan makna “tangan” pada ayat tersebut dengan arti “kekuatan” atau “kekuasaan” atau “kenikmatan”, Maka kita katakan kepada mereka : “itu adalah pemalingan makna dari makna dhohirnya (sebagaimana tertulis secara nash), maka tidak boleh yang demikian itu dilakukan. Karena hal tersebut merupakan sebuah perkataan tentang Allah dengan sesuatu yang tidak ada dasar ilmu padanya.
Dalil atas hal tersebut adalah firman Allah :
Dan secara akal, bahwasanya Dzat yang berbicara pada nash diatas lebih mengetahui tentang maksud makna nash-nash yang ada daripada siapapun juga, dan juga bahwasanya Dzat yang berbicara pada ayat diatas berbicara menggunakan bahasa arab yang telah jelas maknanya, maka wajib yang demikian itu kita menerimanya sebagaimana dhohir (tekstual) yang termaktub.[3]
Berkaitan dengan nama-nama Allah
* Nama-nama Allah seluruhnya adalah baik/bagus
Nama-nama Allah seluruhnya adalah baik/bagus : yaitu berada pada puncak / derajat tertinggi dalam kebaikannya/kebagusannya secara mutlak. Dikarenakan padanya terkandung kesempurnaan bagi sifat-sifatnya, yang tidak ada satupun kekurangan padanya dari berbagai sisi. Sebagaimana firmannya :
Dan misal yang demikian itu : Ar-Rahman, yang merupakan nama dari nama-nama Allah, yang menunjukkan atas sebuah makna dan sifat yang agung yaitu Rahmat yang Luas.[4]
* Nama-nama Allah tidak terbatas pada bilangan tertentu
Sebagaimana Rasulullah bersabda didalam hadits yang masyhur :
dan adapun nama-namaNya yang hanya Allah sajalah yang mengetahuinya maka tidaklah mungkin kita meliputi ilmuNya dan tidaklah mungkin kita dapat mengetahui semuanya.
Dan bagaimanakah menyatukan antara hadits diatas dan hadits shohih berikut ini, yang seolah-olah bertentangan
Makna hadits diatas adalah bahwasanya diantara nama-nama Allah berjumlah 99 (sembilan puluh sembilan) nama yang barang siapa menghafalnya maka dia akan masuk surga, dan bukanlah maksudnya bahwa nama-nama Allah terbatasi dengan jumlah tersebut, dan misal yang demikian tersebut : engkau mempunyai uang 1 (satu) juta yang engkau sediakan untuk shodaqoh, maka hal itu tidaklah menafikan bahwasanya engkau memiliki uang yang lain yang akan engkau pergunakan untuk keperluan yang lain.
• Nama-nama Allah tidaklah dapat ditetapkan dengan akal, akan tetapi penetapannya adalah ditentukan oleh syariat.
Penetapan nama-nama bagi Allah adalah perkara tauqifiy (perkara yang ditentukan oleh syari’at), maka kita menetapkannya sesuai dengan apa yang datang dari syari’at dan tidaklah kita menambah-nambahnya, atau menguranginya. Dikarenakan akal tidaklah mungkin mengetahui seluruh apa yang berhak dinisbahkan kepada Allah berupa nama-nama. Maka wajib berhenti sebatas yang dijelaskan oleh syari’at, dikarenakan penamaan terhadap Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menamai diri-Nya atau mengingkari apa yang Allah telah menamai dirinya dengan nama tersebut adalah sebuah kejahatan didalam hak Allah, maka sepatutnyalah menempuh adab yang baik dalam perkara tersebut.
• Ø Seluruh nama-nama Allah menunjukkan atas Dzat Allah, dan sifat-sifat-Nya.
Tidaklah sempurna keimanan kepada nama-nama Allah melainkan dengan menetapkan nama-nama Allah secara keseluruhan (tanpa memalingkan maknanya ataupun mengingkarinya).
Seperti sifat maha hidup, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar, maha melihat, maha bijaksana, maha penyanyang, maha tinggi, dan selainnya, dan yang demikian itu Allah tetapkan didalam firmanNya :
Oleh karena Allah Maha Sempurna maka wajib untuk meyakini akan kesempurnaan sifat-sifatNya. Dan tidak layak disandarkan padaNya berupa sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan. Seperti mati, tidak mengetahui, lemah, tuli, buta, dan yang semisal dari itu yang menunjukkan makna kekurangan. Dan Allah akan memberikan hukuman kepada orang-orang yang mensifati-Nya dengan sifat-sifat kekurangan. Allah telah mensucikan diriNya sendiri dari sifat-sifat kekurangan. Oleh karena itu tidaklah mungkin Allah disifati dengan sifat kurang.
Dan jika disana terdapat sifat kesempurnaan di satu sisi, dan sifat kurang di satu sisi, tidaklah kita menetapkannya tidak pula kita mengingkarinya secara mutlak, namun seharusnya bagi kita untuk merinci permasalahan tersebut, maka kita menetapkan dua sifat diatas sesuai keadaan yang menunjukkan kepada makna kesempurnaan, dan mengingkari sifat kurang (naqis) jika keadaan tidak menunjukkan kepada makna kesempurnaan.
Seperti sifat makar, tipuan muslihat, atau yang semisalnya, maka sifat-sifat seperti ini akan menunjukkan makna sifat kesempurnaan jika dihadapkan kepada hambanya yang berhak untuk mendapatkan sifat makar dan menipu.
Sebagaimana firman Allah:
* Sifat Allah terbagi menjadi dua :
1. Sifat Tsubutiah (Sifat yang tetap) : Seluruh sifat yang Allah telah menetapkan bagi diriNya sendiri seperti sifat maha hidup, maha mengetahui, maha kuasa, dsb. Maka yang demikian itu wajib bagi kita untuk menetapkan sifat-sifat tersebut bagi Allah sesuai hakNya. Dikarenakan Allah sendiri telah menetapkan sifat-sifat tersebut pada diriNya. Dan Dia lebih mengetahui tentang sifat-sifatNya sendiri.
2. Sifat Silbiyah (Sifat Negatif) : Seluruh sifat yang Allah telah menafikannya bagi diriNya, seperti sifat dholim. Maka wajib bagi kita untuk menafikan sifat tersebut dari Allah, dikarenakan Allah sendiri telah menafikannya bagi diriNya. Akan tetapi kita menafikan sifat tersebut disertai dengan menetapkan lawan dari sifat tersebut, misal : kita menafikan sifat dholim maka tidaklah sempurna penafian tersebut melainkan dengan disertai penetapan kebalikan dari sifat dholim yaitu sifat Adil.
Misal yang demikian diatas adalah firman Allah:
Dengan demikian wajiblah bagi kita untuk menafikan sifat dholim bagi Allah bersamaan dengan itu kita menetapkan sifat adil bagi Allah secara sempurna.
Sifat Tsubutiyah terbagi menjadi dua :
1. Sifat Dzatiyah (yang berkaitan dengan dzat Allah) : yaitu sifat yang Allah senantiasa disifati dengannya, seperti Maha Mendengar, dan Maha Melihat.
2. Sifat Fi’liyah (yang berkaitan dengan perbuatan Allah) : yaitu sifat yang berkaitan dengan kehendak Allah, jika Allah menghendaki maka Allah akan melakukannya, jka tidak menghendaki maka Allah tidak melakukannya, seperti keberadaanNya diatas Arsy-Nya atau turun ke langit dunia, semua itu sesuai dengan kehendak Allah sendiri terhadap diriNya.
3. terkadang tercakup padanya sifat Dzatiyah dan Fi’liyah secara bersamaan, seperti sifat berbicara, secara dzat Allah disifati dengan sifat berbicara namun Allah juga tidak senantiasa berbicara, dikarenakan sifat bicara terkait dengan kehendak Allah, jika Allah menghendaki akan melakukannya, jika tidak maka Allah tidak melakukannya..
* setiap sifat dari sifat-sifat Allah, dihadapkan pada tiga pertanyaan :
1. Pertanyaan pertama : Apakah sifat-sifat tersebut menunjukkan kepada makna yang hakiki. Dan kenapa ?
2. Pertanyaan kedua : Apakah boleh bagi kita membagaimanakan sifat-sifat tersebut (menanyakan bagaimanakah sifat-sifat tersebut). Dan kenapa ?
3. Pertanyaan ketiga : Apakah sifat-sifat Allah diserupakan dengan sifat-sifat makhluk, dan kenapa ?
Jawaban pertanyaan pertama :
Ya, sifat-sifat Allah adalah menunjukkan atas makna hakiki (yang sebenarnya), dikarenakan sebuah kalam pada asalnya menunjukkan makna secara hakiki, tidaklah dipalingkan dari maknanya kecuali ada dalil yang shohih yang mencegah dari pengartian makna secara hakiki.
misal : sifat tangan bagi Allah, maka kata tangan disini menunjukkan kepada makna tangan yang sebenarnya secara hakiki, tidak mungkin kita palingkan makna tangan kepada makna kekuasaan melainkan jika terdapat dalil shohih yang menjelaskannya, adapun bagaimanakah tangan Allah kita katakan Allahu a’lam, kita tetapkan secara makna namun kita tidak menetapkan secara kaifiyahnya (wujudnya). Dikarenakan Allah berfirman :
Pada ayat diatas Allah menyatakan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang serupa denganNya, disamping itu pula Allahmenetapkan sifat mendengar dan melihat bagi diriNya, lalu apakah kita akan memalingkan makna “mendengar” dan “melihat” kepada makna yang lain? dikarenakan makhluk-makhluknya pun mempunyai sifat mendengar dan melihat, lalu apakah kita katakan bahwa sifat Allah seperti sifat makhlukNya, tentu tidak. Namun kita katakan sifat Allah padanya terkandung kesempurnaan yang berbeda dengan sifat makhluknya.
Aqidah Ahlus Sunnah dalam hal Asma’ dan Sifat adalah menetapkan secara makna namun menyerahkan kepada Allah tentang kaifiyahnya (wujud bentuknya).
Jawaban pertanyaan kedua :
tidak boleh bagi siapapun untuk membagaimanakan ( takyif ) sifat-sifat Allah, dikarenakan Allah berfirman :
Dikarenakan akal tidaklah mungkin dapat mengetahui bagaimanakah sifat-sifat Allah
Jawaban pertanyaan ketiga :
Tidaklah sifat-sifat Allah diserupakan dengan sifat-sifat makhlukNya dikarenakan Allah berfirman :
Dikarenakan pada sifat-sifat Allah terkandung padanya puncak kesempurnaan, maka tidaklah mungkin diserupakan dengan makhluk sedangkan makhluk memiliki kekurangan.
Takyif : menghayal / membayangkan tentang salah satu sifat Allah seperti misalnya membanyangkan bentuk tangan Allah walaupun tanpa memisalkan dengan tangan satu makhluk pun. Maka ini sama saja, tidak boleh.
Sumber : Lum’atul I’tiqod – Imam Ibnu Qudamah / syarah Syaikh Utsaimin
Aqidah Wasithiyah – Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah / Ta’liq Asy Syaikh Abul ‘Abbas Yasin Al-Adani
http://jejakrusul.wordpress.com/2010/07/03/kaidah-kaidah-dasar-yang-wajib-diperhatikan-di-dalam-memahami-tauhid-asma-wa-sifat-2/#more-12
________________________________________
[1] Guru dari Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam Sufyan Al Uyainah , Imam ibnul Mubarak, Imam Syu’bah
[2] Murid besar Imam Malik rahimahullah
[3] (maka hendaknya merujuk kepada kitab بدائع الفواعد (Kitab Badai’ Al Fawaid) karya Imam Ibnul Qoyyim Al Jauzi (168 / 1) untuk pembahasan lebih luas.
[4] Lihat Madarij As-Salikin (33/1) karya Ibnul Qoyyim
0 Responses to "KAIDAH-KAIDAH DASAR YANG WAJIB DIPERHATIKAN DI DALAM MEMAHAMI TAUHID ASMA’ WA SHIFAT"
Posting Komentar