Iman Kepada Takdir Membawa Sukses Dunia-Akhirat

Written by Abu Namira Hasna Al-Jauziyah on Selasa, 19 April 2011 at 06.09

Hits:

Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin

Banyak orang salah memahami takdir. Walhasil muncul banyak kesesatan karenanya. Ada dua kubu ekstrim yg saling berlawanan arah & sama-sama sesat dalam hal ini. Satu kubu menolak takdir. Mereka adalah Qadariyah & Mu’tazilah serta pengikutnya. Sedangkan kubu lainnya menetapkan takdir secara salah. Mereka adalah golongan Jabriyah & pengikutnya. Hanya kelompok yg berada di tengah dua kubu itulah kelompok yg benar. Kelompok ini adalah kelompok asli umat Islam yg memahami takdir serta mengimaninya secara proporsional, sesuai dg dalil al Qur`an & Sunnah sebagaimana difahami oleh Salafush Shalih.
Beriman kepada takdir, yg baik maupun yg buruk, hukumnya wajib, karena ia merupakan salah satu di antara rukun iman yg enam. Adalah sangat ironis jika seseorang mengaku beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, namun ia ragu bahkan ingkar terhadap takdir, meskipun tdk total. Seseorang yg tdk beriman kepada takdir & mengingkarinya, maka ia kafir.

Dalam hubungannya dg kasus pengingkaran terhadap takdir ini, Yahya bin Ya’mar, seorang tabi’i, menceritakan laporannya kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma tentang Ma’bad al Juhani, tokoh Mu’tazilah pertama yg menyeret penduduk Basrah pd penolakan terhadap takdir. Maka Abdullah bin Umar Radhiyalahu 'anhuma mengatakan: “Jika engkau berjumpa dg orang-orang itu, katakan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari golongan mereka & merekapun terlepas dari golonganku”. (Selanjutnya Ibnu Umar berkata):
وَالَّذِى يَحْلِفُ بِهِ عبدُ الله بْنُ عُمَرَ ، لَوْ أنَّ لأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًاَ فَأَنْفَقَهُ ، مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْهُ، حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ. ثُمَّ اسْتَدَلَّ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَ فِيْهِ:
الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ . رواه مسلم
“Demi Allah Yang dg namaNya Abdullah bin Umar bersumpah, kalaulah ada sesorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, kemudian ia infakkan, niscaya Allah tdk akan menerimanya sebelum ia beriman kepada takdir”. Selanjutnya beliau berdalil dg sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yg panjang, di antaranya (artinya):
“Iman ialah bila kamu beriman kepada Allah, kepada para malaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada para rasulNya, kepada hari akhirat & bila kamu beriman kepada takdir, yg baik maupun yg buruk”. (HR Muslim secara ringkas).
Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, menerangkan: “Dalam hadits di atas terdapat penjelasan, bahwa iman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yg enam. Maka barangsiapa yg tdk beriman kepada takdir, yg baik maupun yg buruk, berarti ia telah meninggalkan & mengingkari satu rukun agama. Kedudukan orang ini seperti yg disebutkan oleh Allah dalam firmanNya:
أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ
Apakah kamu beriman kepada sebagian al Kitab & kafir kepada sebagian yg lain? (Al Baqarah: 85)
عَنْ ابْنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ: أَتَيْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ فَقُلْتُ لَهُ: وَقَعَ فِي نَفْسِي شَيْءٌ مِنْ الْقَدَرِ فَحَدِّثْنِي بِشَيْءٍ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُذْهِبَهُ مِنْ قَلْبِي. قَالَ: لَوْ أَنَّ اللَّهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ عَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ، وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ، وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَلَوْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَدَخَلْتَ النَّارَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَحَدَّثَنِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ . أخرجه أبو داود.
Dari Ibnu ad Dailami (seorang tabi’i), ia berkata: Saya datang kepada Ubay bin Ka’ab, lalu saya berkata kepada beliau: “Dalam diriku terjadi penyakit ragu terhadap takdir. Ceritakanlah kepadaku sesuatu yg dengannya Allah akan melenyapkan keraguan itu dari dalam hatiku”.
Ubay menjawab: “Kalaulah Allah menyiksa seluruh penghuni langit & penghuni bumiNya, maka Allah menyiksa mereka bukan karena zhalim kepada mereka. Dan kalaulah Allah memberikan rahmat kepada mereka semuanya, maka rahmat Allah jauh lebih baik dari semua amal mereka.
Andaikata engkau berinfak dg emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah, niscaya Allah tdk akan menerima infakmu sebelum engkau beriman kepada takdir & memahami bahwa apa yg menimpamu pasti tdk akan meleset darimu, sedangkan apa yg meleset darimu pasti tdk akan menimpamu.
Bila engkau mati tdk berdasarkan iman kepada takdir ini, niscaya engkau masuk ke dalam neraka”.
Ibnu ad Dailami selanjutnya berkata: Kemudian saya datang kepada Abdullah bin Mas’ud, beliaupun berkata seperti perkataan Ubay bin Ka’ab. Ibnu ad Dailami berkata lagi: Kemudian aku datang pula kepada Hudzaifah bin al Yaman, beliaupun berkata seperti perkataan Ubay. Ibnu ad Dailami berkata lagi: Kemudian aku juga datang kepada Zaid bin Tsabit, beliaupun membawakan hadits kepadaku dari Nabi n tentang hal yg senada dg perkataan Ubay. (Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud)
Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, membawakan beberapa riwayat lain yg senada dg hadits di atas, di antaranya diriwayatkan oleh Muslim & lain-lain. Dan pd akhirnya beliau t menyimpulkan: “Semua hadits ini & hadits-hadits lain yg senada, mengandung ancaman keras bagi siapa saja yg tdk beriman kepada takdir. Hadits-hadits tersebut juga merupakan hujjah pemukul bagi para penolak takdir dari kelompok Mu’tazilah maupun kelompok lainnya. Sementara itu, di antara pemahaman yg dianut Mu’tazilah, ialah menyatakan, bahwa pelaku kemaksiatan akan kekal di dalam neraka. Padahal, keyakinan mereka tentang tdk ada takdir, merupakan salah satu dosa besar & kemaksiatan yg paling besar. Dengan demikian, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir tentang wajibnya mengimani takdir yg meruntuhkan hujjah mereka, mereka sebenarnya telah menghukumi diri mereka sendiri utk kekal di dalam neraka jika tdk bertaubat. Ini adalah konsekuensi logis dari pemahaman salah mereka. Mereka ternyata menentang dalil-dalil mutawatir dari al Qur`an & Sunnah yg mewajibkan iman kepada takdir, & dalil-dalil mutawatir yg menolak kekalnya orang-orang bertauhid yg berbuat dosa besar di neraka”.
قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ ؛ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمُ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ"
يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي" أخرجه أبو داود
‘Ubadah bin Shamit berkata kepada anaknya:
Wahai anakku, sesungguhnya engkau tdk akan mendapatkan rasa hakikat iman sebelum engkau memahami bahwa apa yg menimpamu pasti tdk akan meleset darimu, & apa yg meleset darimu pasti tdk akan menimpamu. Aku mendengar Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya, pertama-tama yg Allah ciptakan adalah pena (al Qalam). Lalu Allah berfirman kepadanya,’Tulislah!!’. Pena menjawab,’Ya Rabbi, apa yg harus aku tulis?’ Allah berfirman,’Tulislah segenap ketetapan takdir bagi segala sesuatu hingga hari kiamat’.”
(Ubadah melanjutkan perkataannya:) Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah n bersabda: “Barangsiapa yg mati tdk atas dasar (beriman kepada takdir) ini, maka ia tdak termasuk golonganku”. (HR Abu Dawud).
Namun mengimani & menetapkan takdir Allah l juga harus secara benar, supaya tdk terperangkap ke dalam pemahaman Jabriyah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: Iman kepada takdir meliputi dua peringkat iman. Masing-masing peringkat meliputi dua bentuk keimanan.
Pertama: Beriman bahwa Allah l Maha mengetahui apa saja yg dikerjakan oleh segenap makhluk, dg ilmuNya yg bersifat azali & abadi . Allah Maha mengetahui semua keadaan para maklukNya, baik berkaitan dg ketaatan, kemaksiatan-kemaksiatan, rizki-rizki maupun ajal-ajal mereka. Kemudian Allah menuliskan segenap takdir makhluk ke dalam Lauh Mahfuzh.”
Selanjutnya Syaikhul Islam rahimahullah membawakan dalil-dalilnya. Di antaranya hadits berikut:
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمُ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
Sesungguhnya pertama-tama yg Allah ciptakan adalah pena (al Qalam). Lalu Allah berfirman kepadanya ‘Tulislah!!’ Pena menjawab,’Ya Rabbi, apa yg harus aku tulis?’. Allah berfirman,’Tulislah segenap ketetapan takdir bagi segala sesuatu hingga hari kiamat!’. (HR Abu Dawud).
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، إِنَّ ذَلِكَ فِى كِتاَبٍ، إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ
Apakah kamu tdk mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yg ada di langit & di bumi?; bahwasanya yg demikian itu tertulis dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yg demikian itu amat mudah bagi Allah. (Al Hajj: 70)
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِى كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا، إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ

Tiada suatu bencanapun yg menimpa di bumi & tdk pula pd dirimu sendiri melainkan telah tertulis pd kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yg demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Al Hadid: 22).
Berikutnya Syaikhul Islam rahimahullah melanjutkan penjelasannya:
Kedua: Beriman kepada adanya kehendak & kekuasaan Allah yg pasti berlangsung & meliputi segalanya. Artinya, harus beriman bahwa apa saja yg Allah kehendaki pasti terjadi, & apa saja yg tdk Allah kehendaki, pasti tdk terjadi. Juga beriman bahwa tdk ada suatu gerakan apapun di langit maupun di bumi, begitu pula tdk akan terjadi sesuatupun yg diam, kecuali terjadi dg kehendak Allah. Tidak ada sesuatupun yg dapat terjadi di wilayah kekuasaanNya, bila Allah tdk menghendakinya. Allah juga Maha berkuasa terhadap segala sesuatu, baik terhadap yg ada maupun terhadap yg tdk ada. Maka tdk ada satu makhlukpun di bumi maupun di langit, kecuali Allah-lah yg menciptakannya. Tiada Pencipta selain Allah & tdk ada Rabb selain Dia.
Dari penjelasan syaikhul Islam t di atas, sesungguhnya bisa disimpulkan, bahwa dalam memahami & mengimani takdir, sebagaimana dikemukakan oleh para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, harus meliputi keimanan terhadap empat perkara.
Perkara pertama & kedua disimpulkan dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bagian pertama. Sedangkan perkara ketiga & keempat disimpulkan dari perkataan beliau bagian kedua. Empat perkara tersebut sebagaimana penjelasan berikut.
Pertama: Beriman kepada ilmu Allah yg meliputi segala zaman & tempat. Artinya, harus mengimani bahwa Allah Maha mengetahui segala sesuatu, di mana & kapanpun, baik yg ada maupun yg tdk ada. Termasuk mengetahui amal-amal perbuaan makhluk, baik berupa ketaatan-ketaatan maupun kemaksiatan kemaksiatan. Begitu juga tentang rizki, ajal maupun lain-lainnya.
Kedua: Pada saat yg sama harus beriman pula bahwa Allah menuliskan segala sesuatu yg telah diketahuiNya di Lauh Mahfuzh sebagai ketetapan takdirNya. Ketetapan takdir ini terjadi limapuluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit-langit & bumi.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ. رواه مسلم
Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah n bersabda: “Allah telah menuliskan ketetapan segenap takdir bagi segenap makhluk, sebelum Allah menciptakan langit-langit & bumi dg jarak limapuluh ribu tahun”. Beliau bersabda: “Sedangkan ‘arsyNya berada di atas air”. (HR Muslim).
Ketiga: Beriman kepada kehendak (masyi’ah) Allah. Apa saja yg Allah kehendaki, pasti terjadi; & apa saja yg Allah tdk kehendaki, pasti tdk terjadi.
Keempat: Beriman bahwa Allah Maha mencipta. Artinya, apa saja yg Allah kehendaki adanya, baik benda maupun gerakan benda, maka Allah pasti akan menciptakan & mengadakannya.
Keempat perkara di atas harus diimani & difahami sebagai satu kesatuan yg tdk dapat di pisah-pisahkan, karena keempatnya tdk saling bertentangan satu sama lain.
Pemahaman terhadap masalah takdir di atas, sebenarnya merupakan sebagian konsekuensi penting dalam memahami & mengimani rukun iman pertama secara benar, yaitu beriman kepada Allah yg meliputi iman kepada Rububiyah, Asma’ wa Shifat & UluhiyahNya. Jika benar keimanan seseorang kepada Rububiyah, Asma’ wa Shifat, serta Uluhiyah Allah, benar dalam arti sebenar-benarnya sesuai dg pemahaman Salafush Shalih, niscaya akan benar pula keimanannya kepada takdir. Sebab iman kepada takdir terkait erat dg masalah Rububiyah, Asma’ wa Shifat & Uluhiyah Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tentu beriman kepada takdir secara benar, tdk menghilangkan daya upaya seseorang utk melakukan tindakan tertentu agar sukses meraih sesuatu / terhindar dari marabahaya. Justeru disinilah salah satu letak; benar / tidaknya seseorang memahami takdir. Sebab daya upaya ini adalah termasuk yg diperintahkan dalam Islam & wajib dilaksanakan.
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ فِي جَنَازَةٍ فَأَخَذَ عُودًا يَنْكُتُ فِي الْأَرْضِ فَقَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ النَّارِ أَوْ مِنْ الْجَنَّةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ قَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ (فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى.. الْآيَةَ) متفق عليه
Dari Ali Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengiringi jenazah seseorang ke kuburan, lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil sebatang kayu sambil memukul-mukulkannya ke tanah. Kemudian beliau n bersabda: “Tidak ada seorangpun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya; apakah di neraka / di surga”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kalau begitu apakah kita tdk bergantung (pada nasib) saja?” Beliau menjawab: “(Tidak), berbuatlah, karena masing-masing akan dimudahkan (menuju takdir yg ditetapkan untuknya),” Lalu beliau n membaca surah Al Lail ayat 5-10. (Hadits yg muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits di atas, setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sudah ditetapkannya seseorang, apakah kelak menjadi penghuni sorga / penghuni neraka, para sahabat lalu menyatakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, bukankah kami lebih baik menunggu takdir saja & tdk usah berbuat apa-apa?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam langsung menolak pernyataan mereka seraya menjelaskan: “Tidak!! Tetapi kalian harus tetap berbuat, sebab masing-masing akan dimudahkan menuju takdir yg ditetapkan baginya”.
Dengan demikian beriman kepada takdir secara benar, sama sekali tdk menghambat upaya & kreatifitas seseorang. Bahkan semakin memperkuat kreatifitas yg benar & terarah. Amat berbahaya orang yg secara serampangan mengenyampingkan persoalan takdir, / terlalu banyak gagasan mengenainya seperti yg dilakukan oleh kaum Mu’tazilah & pengikut-pengikutnya. Begitu juga, amat berbahaya mengimani takdir menurut gaya Jabriyah. Sebab semua itu berarti melancarkan tuduhan yg sangat keji terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pemimpin umat, diikuti para sahabat serta dua generasi berikutnya sebagai generasi terbaik umat Islam adalah suri tauladan dalam segala hal. Mereka telah tercatat dalam sejarah emas, dg tinta emas, sebagai generasi yg beriman kepada takdir secara benar & sebagai generasi yg gigih melakukan perjuangan utk meraih mardhatillah, tdk ada yg duduk berpangku tangan. Adakah suri tauladan yg lebih baik dari mereka?
Dengan beriman kepada takdir & kepada rukun-rukun iman lain secara benar sesuai dg pemahaman para Salafush Shalih, maka Allah akan membukakan pintu-pintu pertolonganNya. Kebahagiaan dunia & akhirat akan dapat diraih, & kemunduran peradaban akan dapat tersingkirkan. Bi-idznillah wa Taufiqih.
Maraji`:
1. Al Qur’an al-Karim & juga terjemahnya.
2. Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari. Tash-hih wa tahqiq Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, tarqim Muhammad Fu’ad Abdul Baqi- wa Isyraf ‘ala Thab’ihi: Muhibbuddin al Khathib. Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud al Islamiyah, Riyadh.
3. Shahih Muslim Syarh Nawawi, takhrij Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Cet. VII, Th. 1421H/2000 M, Beirut, Libanon.
4. Shahih Sunan Abi Dawud, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. II, dari terbitan yg baru – 1421 H/2000 M.
5. Shahih Sunan at Tirmidzi, Syaikh al Albani, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. I, dari terbitan yg baru – 1420 H/2000 M.
6. Fathul Majid Syarh Kitab at Tauhid, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh. Muraja’ah Hawasyihi: Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Idaaratul Masajid wal Masyari’ al Khairiyah, Riyadh, dari penerbit Maktabah Daar as Salam, Riyadh, Cet. I, 1413 H/1992 M.
7. Syarh al Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. VI, 1413 H/1993 M. Dan lain-lain.
(Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1430H/2009M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296)
Penulis: Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin & diterbitkan oleh almanhaj.or.id

0 Responses to "Iman Kepada Takdir Membawa Sukses Dunia-Akhirat"

Traffic Visitor

Pengikut

Diizinkan untuk mengcopy & memperbanyak tulisan yang ada dengan menyertakan sumber refernsinya. Diberdayakan oleh Blogger.

Tentang Blog Ana

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni segala dosa yang lebih rendah dari syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, sungguh ia telah berbuat dosa yang besar “.(QS An-Nisa:48).. Diizinkan Bagi yang ingin mengcopy, memperbanyak atau menyebarkan isi dari artikel di Blog ini dengan menyebutkan penulis dan sumber referensinya dengan tetap menjaga amanah ilmiyahnya